Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Indonesia bagian timur merupakan kawasan potensial pengembangan areal perkebunan tebu. Hasil telaah karakteristik fisik lingkungan pada tingkat tinjau mendalam dan semidetil dijumpai sekitar 141.279 ha lahan di kawasan ini sesuai untuk tebu yang tersebar di 6 propinsi. Hasil survei pada tingkat semidetil di kawasan ini yang dilakukan P3GI Pasuruan pada tahun 1992-2006 menunjukan sekitar 113.200 ha lahan potensial yang siap untuk dikembangkan menjadi areal perkebunan tebu. Urutan prioritas lahan untuk pengembangan tebu berdasarkan persyaratan sifat fisik lingkungan, potensi lahan hinterland yang secara potensial dapat diperluas dengan mengoptimalkan lahan potensial dan penggunaan lahan pengembangan, secara keseluruhan diperkirakan mencapai 20.036 ha dan aksesibilitasnya adalah Kabupaten Tinanggea-Sulawesi Tenggara, Kabupaten Wajo-Sulawesi Selatan, Kabupaten Merauke-Papua dan Kabupaten Sambas-Kalimantan Selatan. Selain itu, industri gula existing di Indonesia bagian timur yaitu 1 PG di Tolanghula-Gorontalo dan 3 PG di Sulawesi Selatan memiliki . Untuk mendorong percepatan pembangunan industri gula di Indonesia bagian timur, perlu dilakukan perbaikan aksesibilitas dan infrastruktur, kemudahan akses informasi dan penempatan potensi lahan untuk tebu pada prioritas tinggi, dukungan kebijakan pemerintah yang kondusif dan konsisten untuk mendorong agribisnis gula.
Dengan luas areal sekitar 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi.
Seiring dengan pertambahan populasi penduduk, pada tahun-tahun mendatang
kebutuhan gula dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat. Pada tahun 2009
dengan populasi 225 juta jiwa dan rata-rata konsumsi gula 12 kg per kapita, kebutuhan
gula untuk konsumsi langsung mencapai 2,7 juta ton dan konsumsi tidak langsung 1,1
juta ton. Tingkat konsumsi gula saat ini masih jauh di bawah saturation level yang
umumnya dicapai negara-negara maju (30-55 kg/kapita/tahun). Pada tahun 2010
kebutuhan gula Indonesia diproyeksikan mencapai 4,15 juta ton atau naik rata-rata
3,87 % per tahun. Kesenjangan antara kebutuhan dan produksi gula domestic
tampaknya masih akan terus berlangsung. Pada saat ini, kesenjangan itu sekitar 32%
dari kebutuhan konsumsi dan diatasi dengan impor gula. Dalam kondisi keterbatasan
devisa dan kecenderungan harga gula dunia yang meningkat, impor gula akan
menimbulkan beban berat bagi perekonomian nasional di masa depan. Atas dasar itu,
maka upaya peningkatan produksi dalam negeri merupakan pilihan kebijakan yang
rasional sejauh upaya itu dapat dipertanggungjawabkan dari segi efisiensi penggunaan
sumberdaya.
Terdapat dua pilihan yang dapat dipertimbangkan dalam upaya peningkatan
produksi gula dalam negeri, yaitu meningkatkan serta mengoptimalkan kapasitas pabrik
gula (PG) yang ada (existing industry) dan membangun PG baru di luar existing
industry. Pabrik gula yang ada kebanyakan berlokasi di Jawa yang hinterland-nya sudah sangat terbatas, sehingga peningkatan dan optimalisasi kapasitasnya juga sangat terbatas. Karena itu pembangunan PG di luar existing industry merupakan satu-satunya solusi jangka panjang dalam peningkatan produksi gula guna mengimbangi kebutuhan gula nasional yang semakin meningkat.
Indikator
1. Kebutuhan Gula Wilayah Indonesia Timur
Indonesia bagian timur dikaitkan dengan pewilayahan konsumsi gula meliputi kawasan Bali-Nusatenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Tabel 1 menunjukkan kebutuhan konsumsi gula di wilayah ini yang dihitung berdasarkan pendekatan jumlah penduduk dengan rata-rata konsumsi gula masyarakat Indonesia perkapita .
1. 2. Gambaran Penggunaan dan Potensi Lahan Tebu
Informasi penggunaan lahan tebu pada beberapa tahun terakhir akan memberikan gambaran perkembangan industri gula secara keseluruhan, khususnya dalam pencapaian produksi gula maupun perkembangan pembangunan industri gula baru. Pada saat ini, luas areal tebu Indonesia sekitar 444 ribu hektar dengan kontribusi sekitar 65% luasan areal di Jawa dan sisanya sekitar 35 % berada di luar Jawa tabel Penggunaan lahan tebu eksisting di Jawa dan luar Jawa selama 10 tahun terakhir (1998-2008)
1. 3Potensi Lahan Tebu di Indonesia
Tebu merupakan tanaman asli daerah tropika yang asal usulnya diperkirakan3dari Papua. Tanaman ini cukup peka terhadap ketersediaan air yang berlebihan maupun yang yang terbatas, sehingga iklim sering menjadi faktor pembatas utama. Lingkungan fisik lain yang membatasi luas pengelolaan tebu di suatu kawasan adalah kemiringan lereng, drainase dan kedalaman efektif tanah. Sifat fisik ini lebih banyak berkaitan dengan efisiensi ekonomis budidayanya. Faktor lain yang membatasi penggunaan lahan bagi komoditas tebu adalah persaingan dalam penggunaan lahan, khususnya daerah-daerah datar yang subur untuk komoditas pertaniaan lainnya dan pemukiman.
2. 4.Potensi Lahan Tebu Indonesia Bagian Timur
Potensi sumberdaya lahan di Indonesia Bagian Timur diduga tersebar masih cukup banyak. Pada kenyataannya informasi potensi lahan yang menggambaran kesesuaian fisik lahan untuk tebu belum diungkapkan secara optimal baik dari sisi luasan maupun distribusinya. Untuk melacak informasi keberadaan penggunaan dan kesesuaian lahan dalam rangka mengidentifikasi potensi lahan untuk tebu, pada umumnya masih menggunakan peta dasar skala kecil (skala eksplorasi dan tinjau). Namun di beberapa tempat, seperti di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Merauke-Papua, pelacakan lahan potensial sudah dilakukan verifikasi sampai padatingkat skala semi detil dengan luasan yang masih terbatas. Tabel 3. Telaah lahan potensial tinjau mendalam di 6 propinsi Indonesia bagian Timur (Jayanto, 2002)
Pada umumnya lokasi areal potensial memiliki aksesibilitas rendah dengan penggunaan lahan sebagian besar berupa kawasan hutan, semak belukar, lahan terbuka (bero) dan sedikit merupakan areal perkebunan. Penyebaran lahan tersebut terdapat sekitar 64.065 ha di Kalimatan Timur, 13.595 ha di Sulawesi Tengah, 23.935 ha di Sulawesi Tenggara, 1.955 ha di Nusatenggara Barat, 6.600 ha di Nusatenggara Timur dan 35.930 di Papua.
Tabel 4. Telaah kesesuaian lahan pada survei semi detil di Indonesia Bagian Timur (P3GI, 2002-2006)
Tabel 5. Lahan potensial hinterland industri gula di Indonesi bagian timur yang dapat diupayakan untuk pengelolaan tebu
Percepatan Pemanfaatan Lahan Potensial UntukPembangunan Industri Gula
Perkembangan perluasan areal perkebunan tebu berjalan sangat lambat, tidak seperti komoditas perkebunan lainnya khususnya sawit yang berjalan begitu cepat. Dalam upaya untuk memanfaatkan lahan potensial dan investasi pembangunan industri gula di kawasan Indonesia bagian timur perlu dilakukan langkah terencana oleh semua pihak yang terkait, termasuk pemerintah, investor, lembaga penelitian dan masyrakat. Di lain pihak, pembangunan industri gula di kawasan ini bersifat sangat strategis, selain dilihat dari sisi kebutuhan pasok gula menuju swasembada, juga akan bermanfaat dalam mendorong pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, agar percepatan pengembangan indutri gula di Indonesia bagian temur dapat segera terealisasi, maka diperlukan upaya dukungan, anatara lain
sebagai berikut ;
a. 1.Menyediakan dan meningkatkan akses informasi potensi sumber daya lahan
b. 2.Menempatkan ketersediaan lahan untuk tebu pada tingkat prioritas tinggi
c. 3.Dukungan pembangunan infrastruktur
d. 4.Dukungan SDM dan Teknologi
Kesimpulan Review:
Ssperti yang telah diutarakan, Pengolahan Tebu serta Peningkatan tebu dari potensi lahan di Indonesia Wilayah Timur merupakan salah satu inovasi tepat guna bagi persebaran tanaman ini. Untuk itu, pemilihan strategi-startegi dari indicator-indikator yang ada akan sangat baik apabila dilakukan dengan menggunakan teknik analisa Analytical Hierarci Process (AHP) atau biasa dikenal dengan expert choice dengan tujuan memilih prioritas dari strategi terbaik apaa saja yang dapat digunakan sehingga inovasi ini dapat digunakan dengan baik dengan melihat indicator-indikator yang ada.